Tuesday, June 17, 2008

Menyiasati Efek Negatif Migrasi Pertamax ke Premium

Tingginya harga BBK (Bahan Bakar Khusus) Pertamax dan Pertamax Plus, membuat masyarakat, terutama yang mobilnya harus menggunakan pertamax, mulai melirik Premium. Bagaimana sebenarnya cara aman mengganti bahan bakar Pertamax (octane >90) dengan Premium (octane 88)?berikut hal-hal yang harus diperhatikan yang saya ambil dari Majalah TopGear Edisi April 2005. / Hal : 52 yang dimuat kembali dalam www.alvenjo.com

Timing Retard (Ignition)
Ini merupakan langkah pertama wajib dilakukan. Mudah, hemat biaya dan sama sekali tidak membuang waktu Anda. Komponen mana yang terkait urusan timing retard, adalah sistem pengapian. "Waktu pengapiannya wajib dimundurkan, menyesuaikan penurunan kadar oktan yang dikonsumsi mesin," jelas M.Taufik Rohim, kepala bengkel PT. Indomobil Prima Niaga (Mazda) di Serpong, Tangerang.

Saking mudahnya, bengkel resmi maupun non-resmi dapat mengatur timing pengapian dan hanya perlu beberapa menit. Opsi ini pun tidak menghilangkan garansi ATPM.

Prinsip dasarnya, memundurkan waktu pengapian untuk mengeliminasi gejala knocking (ngelitik). Maklum, acap terjadi gejala ngelitik, setelah mesin 'dipaksa' minum BBM beroktan lebih rendah. Tanpa pengobatan ala timing retard, gejala ini akan memancing banyak kelemahan. Misalnya, reduksi tenaga dan torsi, konsumsi BBM boros, piston lebih cepat rusak akibat getaran ngelitik dan metal jalan lebih cepat aus.

Memang, setiap mesin masa kini yang dilengkapi sistem injeksi elektronik dan ECU, punya penangkal ngelitik. Piranti pendukung anti-ngelitik disebut knock sensor. "Namun, alat tersebum punya toleransi 'plus-minus’ timing yang terbatas," sergah Usman Adie, Service Manager PT. Tunas Ridean di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Umumnya, hanya berada di kisaran 5° - 15°.
Selebihnya, tak dapat ditoleransi dan akan tetap terjadi detonasi bila oktan rendah. Kalau sudah begini, ignition timing setelan pabrik, mesti dimundurkan (timing retard) Proses timing retard, melibatkan alat diagnosa yang dimiliki masing-masing merek mobil. langkah selanjutnya, timing pengapian di-adjust melalui scaner. Misal tadinya,15, dibikin 13° atau diturunkankan lagi sampai tidak ngelitik.

Namun, patut dilperhitungkan konsekuensinya. Semakin besar timing dimundurkan. makin banyak pula terjadi power loss. Maklum, prower ini berhubungan langsung dengan timing pembakaran di combustion chamber –TMA/TMB piston.Tidak ada efek negatif yang bakal timbul di kemudian hari dengan ops ini. Asalkan mesin tidak ngelitik. Biaya menyetel timing berkisar Rp 50.000-250 ribu. Tak mahal, karena masuk pada kategori tune-up biasa.Lain cerita, kalau tunggangan ngeyel. Walau pengapian sudah disetel sedemikian rupa, tetap saja ngelitik. Kalau kondisinya begitu, bisa mengikuti langkah-langkah berikut:

Manipulasi ECU (piggyback)
Manipulasi di sini, punya konotasi positif. Pada tahapan ini, kata manipulasi dimaksudkan sebagai bypass pongolahan data ECU. Taktik ini bertujuan mengoptimalisasi langkah spec-down BBM sekaligus meminimalisasi efek negatifnya.

Untuk memperjelas silahkan baca artikel cara kerja ECU di halaman lain majalah ini. Bagi mobil modern, ECU merupakan panglima tertinggi. Dia bertugas memberikan perintah pada seluruh komponen mesin termasuk sistem pengapian dan kontroler knock sensor. “Kalau gagal menghilangkan knocking dengan timing retard, silakan coba by-pass perintah ECU dengan piggyback," saran Yakob, juragan Hyper Rev di Kebon Jeruk, Jakarta barat.

Piggyback bukan saudara dekat Miss Piggy yang teman Kermit Kotak berukuran kecil ini, punya banyak kesaktian. Utamanya memanipulasi data yang dilaporkan sensor-sensor menuju ECU. Dengan piggyback ECU akan memberikan perintah pada tiap-tiap kontroler berdasar laporan ‘fiktif’. Maksudnya, laporan yang diterima ECU tak lagi murni berasal dari sensor-sensor terkait, tapi telah lebih dulu dimanipulasi piggyback.

Dengan begitu selain langkah spec down, BBM makin sukses. Sebab gejala knocking hilang serta output tenaga dan torsi bisa lebih dimaksimalkan. "Pemrogranman, cukup lewat notebook dan software khusus bergantung merk piggyback," sebut Taqwa SS, punggawa Garden Speed yang ditemui di Cilandak, Jakarta Selatan.

Selain pintar memanipulasi, piggyback itu sifatnya penurut. Artinya, besaran manipulasi data yang akan dilaporkan pada ECU, bergantung pada operator (pebengkel). Maksudnya begini. Saat di-instal, piggyback siap diprogram untuk melaporkan kondisi sesuai kemauan. Katakan, Anda ingin konsumsi agak boros, namun tenaga lebih enak. Atau, mau pilih konsumsi hemat dengan konsekuensi tenaga berkurang, silakan saja. Bisa begitu, karena perintah ECU pada tiap-tiap kontroler akan berdasarkan data yang telah dimanipulasi piggyback.

Urusan instalasi, memang agak merepotkan karena piggyback harus terhubung pada skema wiring ECU. Utamanya diagram perkabelan sensor-sensor ECU. Wajib seperti itu, lantaran tugas piggyback yang akan memanipulasi data yang dilaporkan sensor-sensor pada ECU. Jadi, setiap laporan yang disampaikan oleh sensor-sensor, wajib melalui piggyback terlebih dahulu.

Penempatannya bukan persoalan serius karena ukuran piggyback rata-rata tak lebih besar dari walkman. Bisa diselipkan di balik dashboard atau lokasi lain. Namun tidak bisa terlalu sembunyi posisinya. Ingat, piggyback bakal di koneksikan pada notebook, saat Anda butuh mengubah setting mesin.

Optimalisasi penurunan kadar oktan adalah memundurkan timing pengapian. Namun, jika hanya bermodalkan alat diagnosa untuk timing retard jelas belum cukup karena waktu maju-mundur pengapian punya batasan toleransi. Artinya, ketika mesin tetap
ngelitik, piggyback mutlak diperlukan. Dengan piggyback, waktu pengapian bisa lebih banyak berubah. Peluang terjadinya ngelitik pun jauh lebih kecil.

“Selain itu, piggyback bisa sekaligus diprogram untuk mengatur AFR (Air Fuel Ratio),” sahut M. SolehYusuf, penggawang Sigma Speed di bilangan KS Tubun, Jakarta Pusat. Demi adjusment rasio konsumsi BBM, berbanding output tenaga torsi.

Dengan piggyback, tak hanya ngelitik yang hilang. Sekaligus bisa diandalkan meningkatkan tenaga dan torsi walau tak akan sama baiknya dengan kondisi rekomendasi pabrikan. Saat penggunaan kadar oktan minimumnya, memastikan output mesin maksimal. Namun, kondisinya akan jauh lebih memuaskan ketimbang hanya timing retard. “Dengan piggyback, knocking hilang dan tenaga torsi otomatis membaik,”rinci Kemal A. Bachrie dari Katulistiwa Surya Nusa di wilayah pramuka, Jakarta Pusat.

Sayangnya, ada tunggangan tertentu yang mungkin saat ini belum dapat mengaplikasi piggyback. Utamanya mobil “fresh from to oven”. Semua harus maklum, setiap instalatur dan programmer piggyback, hanya dapat menginstalasikan dengan bantuan diagram wiring ECU. Nah, biasanya diagram itu baru didapat mereka beberapa bulan kemudian setelah produsen piggyback melansir diagram instalasi mobil tertentu.

Bicara budget, piggyback kisarannya Rp. 1-9 jutaan, bergantung merk dan spesifikasinya. Ada beberapa piggyback yang parameter settingnya terbatas dan berbanderol murah. Dipasaran, bisa ditemui banyak merk, misalnya Uni Chip, Dastek, Haltech, APEX’I, HKS, Buddy Club, AEM dan lain sebagainya. Negara produsen didominasi Jepang dan Amerika. Soal kompatibilitas dengan varian mobil, bisa dikonsultasikan dengan para ‘tuner’ spesialisnya.

Tune-up Semi Sport (Optimalisasi Mesin)
Kurang puas dengan hasil akhir yang ditawarkan piggyback dan masih saja bermasalah dengan efek ‘power loss’ akibat spec down BBM? Rasanya, tahapan ketiga ini bisa dijadikan solusi mujarab. Selain dijamin menghilangkan knocking, sekaligus lebih andal mendongkrak tenaga.

Optimalisasi mesin model ini wajib membongkar cylinder head mesin yang tentu dibarengin penggantian pelumas dan gasket (packing head). Agak sedikit merepotkan, namun hasilnya sangat memuaskan.

Langkah ini punya tingkat kesulitan tinggi dan butuh biaya lebih besar. Maksudnya begini. Kita harus sepakat bahwa dari sekian banyak jumlah mobil bermerk sama dan varian sama, karakter mesin beda. Bisa begitu, karena proses pembuatan mesin mengandalkan robotized dan dalam jumlah massal.

Wajar jika kecepatan pembuatan menjadikan banyak hal kurang presisi atau kurang sempurna, cukup memenuhi standard massal. Misalnya instake dan exhaust mesin, tidak 100% akurat seperti blue print. Belum lagi dalam sebuah mesin, banyak kasus dijumpai, jarak sitting klep tiap silinder berbeda. Begitulah yang terjadi pada produk massal dan ini bukan salah pabrik.
Akibatnya, proses pengabutan bensin pasti tidak sempurna. Terjadi banyak ‘power loss’ dan konsumsi BBM jadi tidak optimal. Dari kondisi ini, ide dasar tune-up semi sport (optimalisasi mesin) tercetus. “Tujuan utamanya menyempurnakan proses pembakaran.

Octane Boster
INI LANGKAH paling mudah menyiasati kebutuhan spec-down BBM. Sekaligus paling murah dan paling banyak diadopsi. Penting diingat, sebagian octane booster mengandung TEL (Tetra Ethyl Lead) atau timbal. Unsur berbahaya bagi mesin masa kini yang sudah mengadopsi katalitik konventer. Efeknya, gas buang mengandung timbal akan menyumbat katalis itu. Kalau sudah buntu, harus diganti, dan harganya cukup mahal.

Urusan oktan booster, konsultasikan dengan bengkel terpercaya. Pastikan ‘doping’ oktan yang digunakan tidak bertimbal. Biasanya octane booster yang tidak mengandung timbal bisa diidentifikasi dari harganya yang jauh lebih mahal dari octane booster kebanyakan.

Beberapa bengkel menyarankan octane booster berwujud cair lebih aman digunakan karena lebih mudah bersenyawa bahan bakar dan lebih mudah bercampur.

Dengan merapikan saluran isap, buang dan sitting klep pada cylinder head. Akan tercapai titik maksimal rasio antara konsumsi BBM, kebutuhan nilai oktan dan tenaga torsi,” terang Jasin, pemilik bengkel Provis bermarkas di area Biantaro, Tangerang.

Kondisi idealnya, saluran isap punya lubang yang tidak ‘bergelombang’. Demikian pula lubang saluran buang. Mestinya punya permukaan lebih halus dan licin ketimbang intake pada kepala silinder. Nah, pada hampir semua mobil produk massal, dinding lubang-lubang itu tidak 100% sempurna. “Pasti ada cacat dan perbedaan diameter. Makanya walau mobil sama, belum tentu karakternya persis,” tambah Amiauw, yang ditemui di Amiauw Motor Sport (AMS) di lokasi Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Dengan langkah optimalisasi, saluran masuk dan buang pada cylinder head disempurnakan. Demikian pula sitting klep pada tiap selinder mesin. “Efeknya, bensin irit, tenaga meningkat dan torsi bertambah,” urai Jasin yang telah melakukan dynotest antara sebelum dan sesudah disempurnakan.

Asyiknya, langkah ini bisa dilakukan pada mobil canggih maupun lawas, sistem bahan bakar injeksi atau karburator. Semuanya bisa dioptimalkan dengan tune-up berjuluk semi sport menurut versi bengkel Provis.

Perlu diingat sekali lagi, langkah ini bukan bertujuan untuk menghasilkan kendaraan ala balap. Opsi ini lebih pada optimalisasi kinerja mesin, walau tetap melibatkan proses polish dan porting di cylinder head. Urusan biaya setidaknya butuh Rp. 2,5-10 jutaan, bergantung jenis dan tipe mobil.

Power Spec-up
Tahap terakhir ini, khusus bagi yang hobi mengemudi. Dalam arti, lebih mementingkan kenikmatan mengemudi. Notabene, selalu merasa butuh power besar dan akselerasi responsif. Golongan pengemudi seperti ini sebenarnya masih bisa dilakukan penghematan dengan spec down BBM, namun, butuh kerelaan merogoh kocek lebih dalam dibanding tiga 3 opsi optimalisasi sebelumnya.

Ketika kebutuhan power sudah menjadi tujuan utama, tapi masih ingin pakai premium, silakan mengombinasi ketiga tahapan di atas secara berbarengan. Hasilnya bakal mengejutkan !

Sebagai langkah pamungkas, silakan anut langkah blue-printing. Proses ini identik opsi tune-up semi sport, namun komponen yang disentuh lebih banyak. Piston, kruk as dan camshaft ditimbang ulang, disamakan dan dibalans.

Dengan blue-printing, tenaga meningkat tajam, sehingga efek ‘power loss’ akibat spec-down BBM tak terasa. Hanya saja, biaya yang dibutuhkan untuk blue-printing cukup besar, sekitar Rp. 10 juta – 20 jutaan.


Sumber Informasi : Majalah TopGear Edisi April 2005. / Hal : 52

1 comment:

Anonymous said...

Sepakat sama pak totok.
Sebaiknya zaman sekarang kalau mau membeli mobil harus ditambah 1 indikator lg, yaitu kompresi mesin, walau sialnya sekarang hampir semua mobil baru berkompresi tinggi yg kebanyakan diatas 10:1 (mesinbensin)

Kebetulan dulu saya maen beli mobil saja tanpa lihat rasio kompresi mesin, dan ternyata kompresi mesin mobil saya sangat tinggi yaitu 10,5:1 alias harus diisi minimal pertamax dgn rekomendasi penggunaan pertamax plus (kacau deh...). Dan saat diisi premium ya jelas saja tenaga ilang total, gas ndut2an, g nyaman sama sekali (haduh).

Saya berfikir untuk memadukan piggyback dengan HHo(hydrogen fuel), seharusnya sih bisa lebih irit dan bertenaga walau hanya menggunakan premium. Cuma ya itu dia biayanya ngga sedikit, kalau saya kira2 sih HHo ±3jt dan piggyback ±5jt jd total 8jt an,,, luar biasa harganya....